Feodalisme
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan di mana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vazal. Para vazal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vazal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti. Dengan begitu muncul struktur hirarkis berbentuk piramida.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, seringkali kata ini digunakan untuk merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti ‘kolot’, ’selalu ingin dihormati’, atau ‘bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan’. Arti ini sudah banyak melenceng dari pengertian politiknya.
diambil dari milis ubur-ubur, milis anti-otoritarian nusantara
——
FEODALISME & KAPITALISME : Tentang transformasi mode produksi dan suprastruktur di wilayah2 pasca kolonial
Kenapa feodalisme tidak seluruhnya terkikis dari Indonesia (Jawa?)? Kayanya ini adalah gejala dari negara-negara pasca kolonial. Beralihnya dari mode produksi feodal dan suprastruktur monarki absolut menuju mode produksi kapitalis dan superstruktur negara bangsa melewati tahapan kolonialisme, lebih spesifik lagi kolonialisme Belanda untuk konteks Indonesia.
Ada perbedaan yang bisa jadi cukup fundamental dalam peralihan dari feodalisme ke negara bangsa, diantara negara bangsa di wilayah Eropa dan negara bangsa di wilayah pasca kolonial. Di Eropa, peralihan tersebut hanya dapat terjadi ketika monarki absolut dihabisi; sedangkan di wilayah pasca kolonial, peralihan ini menyisakan puing-puing monarki karena yang dihabisi bukanlah monarki, tapi rezim kolonial.
Kenapa rezim kolonial yang menjadi sasaran utama? Kelihatannya pembentukan identitas (pribumi versus asing) adalah salah satu faktor yang signifikan dalam perjuangan pembebasan nasional di wilayah pasca kolonial. Jadinya perjuangan pembebasan nasional terlalu bersemangat dalam perang identitas (dalam memerangi yang asing), hingga perjuangan ini agak luput untuk mentarget monarki-monarki sebagai aktor-aktor penindas juga.
Sejauh aku memahaminya, nilai-nilai budaya feodal itu paling kental berada di wilayah Jawa, terutama DIY dan Solo (?). Pemosisian kekuaan-kekuatan feodal merupakan faktor penting yang menentukan kadar eksistensinya seiring dengan waktu. Monarki yang paling pro aktif dalam perjuangan pembebasan nasional adalah Mataram, karena sultannya ngerti situasi politik dan berpolitik. Ketika banyak kerajaan-kerajaan lain plin plan apakah ingin mendukung kemerdekaan Indonesia, Sultan Mataram tanpa ragu mendukung kemerdekaan tersebut – karena dia tau situasi politik internasional dan akan terjadinya kesuksesan bagi perjuangan2 pembebasan nasional. Dia memperoleh hasil yang gemilang – dia masih memegang previlase-previlase monarki secara signifikan hingga saat ini. Tentunya dia lihai sekali ketika membuat konsensus-konsensus selama periode perjuangan pembebasan nasional. Sementara monarki-monarki yang samasekali tidak cerdas, yang tidak tau situasi politik, masih loyal pada rezim kolonial dan akhirnya tinggal nama saja dalam sejarah.
Lebih jauh lagi, ada kekhususan dengan Belanda sebagai penjajah. Tidak seperti rezim-rezim kolonial lain seperti Inggris, yang menghabis-habiskan waktu mereka untuk menghancurkan budaya feodal, dalam artian ingin membawa peradaban modern, atau tuan-tuan Prtugis & Spanyol yang sangat gemar berdakwah, kolonial Belanda adalah rezim yang sangat efisien dalam urusan ekonomi dan tidak peduli dengan pemeradaban. Mereka lebih tertarik untuk memanfaatkan struktur yang ada dan mengintegrasikannya ke dalam matriks efisiensi akumulasi modal. Kira-kira artinya, Belanda itu tidak peduli dengan struktur kekuasaan feodal sejauh bisa diintegrasikan ke dalam kepentingannya. Mungkin ini kenapa budaya feodal masih bercokol cukup mantap di relung-relung tertentu dalam masyarakat Indonesia, karena memang tidak dihabisi, baik oleh penduduk lokal maupun oleh rezim kolonial.
..bagaimana feodalisme bisa bergandengan dengan kapitalisme? Jelas bisa. Seperti bagaimana kolonial Belanda mengintegrasikan struktur feodal ke dalam kapitalisme agrikulturnya dan industri ekstraktifnya.
Aku jadi ada pertanyaan lain:
1. bagaimana dengan Inggris, Belanda, Finlandia dan beberapa negara maju lain yang masih mempertahankan monarkinya? Tapi jelas, ada perbedaan signifikan dengan apa yang terjadi di Indonesia; perbedaan-perbedaan tentang signifikansi previlase2 feodal dalam konteks sosial&politik.
2. Apakah feodalisme masih bercokol di seluruh Indonesia? atau hanya di wilayah-wilayah spesifik, mis Yogyakarta dan Solo, pulau Jawa pada umumnya?
3. (Mungkin ada kaitannya dengan pertanyaan #2) Udah ada beberapa postingan, tapi kayanya belum jelas definisi feodalismenya. Apakah feodalisme hanya kita pakai untuk merujuk pada mode produksi dan struktur kekuasaan feodal? Atau termasuk juga budaya? Kayanya sih mencakup semuanya aja ya??
Tj
p.s.. buat si sipil romantis: Aku pikir sejarah Indonesia hanya dimulai ketika ada cakrawala, konsepsi dan artikulasi tentang Indonesia sebagai negara bangsa. Kalao menurut Simon Philpott (bukunya “Meruntuhkan Indonesia”), itu mungkin terjadi sekitar awal abad ke 19, ketika sistem tanam paksa diberlakukan. Periode sebelumnya dikatakan sebagai sejarah masyrakat Nusantara. Bagiku ini masuk akal. kita ga akan ngebayangin kerajaan-kerajaan di Nusantara terutama dalam sejarah prakolonial merasa menjadi Indonesia kan? Sementara sejarah konvensional (yang dibajak untuk kepentingan pelegitimasian negara bangsa) cenderung mengatakan keseluruhan catatan kronologis tentang masyarakat Nusantara (dan lebih banyak lagi tentang monarki2nya) sebagai sejarah Indonesia. Semacam pengklaiman dalam diskursus sejarah nasionsentris tersebut - semakin panjang sejarah suatu bangsa, semakin kuat legitimasinya. Kayanya cukup penting juga pembedaan itu, dalam rangka “ngebangun” sejarah yang tidak nasionsentris.
0 komentar