Maksud dari tulisan ini adalah untuk membuat sebuah “konstruksi” baru terhadap pemahaman kita yang selama ini “mapan” dan kelihatan “saleh”! Nasihat itu sering dilontarkan sebelum calon pasutri menikah atau mereka yang hidup bersama. Benarkah kita mesti menerima kelemahan seorang suami yang tidak sungguh berusaha untuk bangun lebih awal?
Maukah kita menerima terus menerus seorang isteri yang reaktif dan cepat “ngedumel”? Maukah seorang suami menerima kelemahan isteri yang tidak bisa mengatur ekonomi rumah tangga?
Maukah seorang isteri menerima suami yang tidak mau tahu, lebih baik tidur di kamar lain daripada terganggu tangisan anaknya tengah malam? Dan masih banyak lagi kelemahan yang kerap kali “suami-isteri” terpaksa harus menerima dalam keadaan tertekan.
Kelemahan itu semua mengganggu hidup bersama. Namun ada cara lain yang ditawarkan, yakni mengubah kelemahan sesamaku, bahkan diriku, menjadi peluang dan kesempatan penuh rahmat untuk tumbuh dan berkembang. Nasehat yg selalu kita dengar, “Kasihilah musuhmu” Orang yang dianggap musuh justru diperlakukan sebagai pribadi yang pantas dicintai! Demikianlah juga orang-orang yang “dianggap mengganggu dan mengancam’ kemapanan kita bisa diperlakukan sebagai pribadi yang paling pantas
diperhatikan. Itulah “konstruksi baru” yang mesti dibangun kembali, supaya kelemahan itu bukan lagi ‘diterima tanpa syarat”, melainkan “kelemahan manusiawi” sebaliknya mesti dijadikan kesempatan yang istimewa untuk berkembang. Kelemahan orang lain itu membuat akar-akar egoisme tercabut kalau kita mau memperlakukannya sebagai “undangan” untuk berubah.
Dulu Sanny suka marah-marah kalau Johny suaminya selalu menilai masakannya terasa tidak enak. Namun sekarang Sanny justru meminta Johny untuk mencicipi dan menilai masakannya, dan bertanya, apa yang kurang, kurang manis, asin, atau masih belum enak. Setelah berinisiatif bertanya begitu, Johny malah balik memuji, “Sudah enak kok, nggak seperti kemarin!”
Panurata juga merasa mangkel karena isterinya, Jerawati suka cerewet. Kombinasi warna pakaian Panurata dan celananya sering tidak enak dipandang mata. Karena itu Jerawati suka mengkritik, dan “ngomel”, ‘Tahu nggak sih pilih warna?” Panurata juga kesel dan cuma diam terus. Namun sekarang setelah tidak menerima kelemahan isterinya, dia malah balik berinisiatif, “Jeng, pakaianku sudah serasi apa belum dengan celanaku?” Jerawati malah dengan santai menjawab, “Sudah kok, sekarang kok tambah pinter! Padahal
pakaian Panurata sama dengan minggu yang lalu saat Jerawati mencela. Perubahan paradigma juga menentukan perubahan sikap.
Sekali lagi, jadikan kelemahan sesamamu itu peluang dan kesempatan penuh rahmat, di mana Tuhan mengundangmu untuk lebih memperhatikan dan mencintai sesamamu!
Maukah kita menerima terus menerus seorang isteri yang reaktif dan cepat “ngedumel”? Maukah seorang suami menerima kelemahan isteri yang tidak bisa mengatur ekonomi rumah tangga?
Maukah seorang isteri menerima suami yang tidak mau tahu, lebih baik tidur di kamar lain daripada terganggu tangisan anaknya tengah malam? Dan masih banyak lagi kelemahan yang kerap kali “suami-isteri” terpaksa harus menerima dalam keadaan tertekan.
Kelemahan itu semua mengganggu hidup bersama. Namun ada cara lain yang ditawarkan, yakni mengubah kelemahan sesamaku, bahkan diriku, menjadi peluang dan kesempatan penuh rahmat untuk tumbuh dan berkembang. Nasehat yg selalu kita dengar, “Kasihilah musuhmu” Orang yang dianggap musuh justru diperlakukan sebagai pribadi yang pantas dicintai! Demikianlah juga orang-orang yang “dianggap mengganggu dan mengancam’ kemapanan kita bisa diperlakukan sebagai pribadi yang paling pantas
diperhatikan. Itulah “konstruksi baru” yang mesti dibangun kembali, supaya kelemahan itu bukan lagi ‘diterima tanpa syarat”, melainkan “kelemahan manusiawi” sebaliknya mesti dijadikan kesempatan yang istimewa untuk berkembang. Kelemahan orang lain itu membuat akar-akar egoisme tercabut kalau kita mau memperlakukannya sebagai “undangan” untuk berubah.
Dulu Sanny suka marah-marah kalau Johny suaminya selalu menilai masakannya terasa tidak enak. Namun sekarang Sanny justru meminta Johny untuk mencicipi dan menilai masakannya, dan bertanya, apa yang kurang, kurang manis, asin, atau masih belum enak. Setelah berinisiatif bertanya begitu, Johny malah balik memuji, “Sudah enak kok, nggak seperti kemarin!”
Panurata juga merasa mangkel karena isterinya, Jerawati suka cerewet. Kombinasi warna pakaian Panurata dan celananya sering tidak enak dipandang mata. Karena itu Jerawati suka mengkritik, dan “ngomel”, ‘Tahu nggak sih pilih warna?” Panurata juga kesel dan cuma diam terus. Namun sekarang setelah tidak menerima kelemahan isterinya, dia malah balik berinisiatif, “Jeng, pakaianku sudah serasi apa belum dengan celanaku?” Jerawati malah dengan santai menjawab, “Sudah kok, sekarang kok tambah pinter! Padahal
pakaian Panurata sama dengan minggu yang lalu saat Jerawati mencela. Perubahan paradigma juga menentukan perubahan sikap.
Sekali lagi, jadikan kelemahan sesamamu itu peluang dan kesempatan penuh rahmat, di mana Tuhan mengundangmu untuk lebih memperhatikan dan mencintai sesamamu!
0 komentar